Setelah kegagalan saya dalam melamar beasiswa doktoral
di Hongkong pada pertengahan tahun 2015,
saya merasa sudah kalah bersaing untuk
mendapatkan beasiswa lagi ke luar negeri.
Stop di sini! Saya tidak mampu, saya kurang
pandai,
kemampuan saya kurang!
Perasaan seperti inilah yang menghantui
pikiran saya saat itu sembari merefleksikan
alasan mengapa saya bisa gagal.
Salah satu faktor utamanya ialah kurangnya
persiapan
yang matang dansemuanya serba terburu-buru. Faktor lainnya adalah minimnya
publikasi ilmiah saya pada saat itu.
Saya menerima kegagalan saya!
Lalu, pada akhir tahun 2015, saya memutuskan untuk
fokus
pada peningkatan kuantitas publikasi ilmiah[1]. Saya memulai dari menarasikan kegiatan
pembelajaran
dan tugas yang saya berikan kepada siswa.
Lebih lanjut, saya menuliskan refleksi mahasiwa
tentang alasan dari keberhasilan maupun kegagalan
mereka
dalam mencapai tujuan pembelajaran di dalam kelas.
Faktor-faktor yang memotivasi mereka untuk belajar
juga menjadi area penelitian saya saat itu.
Sebagai awalan, saya mengirimkan hasil penulisan
tersebut ke sejumlah jurnal ilmiah nasional di
Indonesia.
Yang penting ada publikasi dulu![2]
Tahun 2016 adalah waktu dimana saya menjadi sangat produktif dalam hal publikasi karena adanya
tujuan terukur yang ingin saya capai dan tentunya
lingkungan
yang sangat mendukung walaupun di saat yang
bersamaan,
perasaan takut gagal masih sering menaungi pikiran
saya.
Suatu sore, entah memang kebetulan atau tidak, saya bertemu dengan Frances Lorraine Sinanu,
rekan kerja yang adalah seorang lulusan
salah satu universitas top di Amerika,
alumni program Fulbright. Saya menceritakan kegagalan
saya
dalam melamar beasiswa, keinginan saya untuk
menyerah
dan melanjutkan studi doktoral di dalam negeri,
dimana secara kualitas tentu tidak kalah
dengan universitas yang ada di luar negeri.
“Tidak!”, katanya. Beliau meminta saya untuk
mencoba
beasiswa Fulbright yang memberikan kesempatan
bagi para dosen di Indonesia untuk melanjutkan
studi doktoral di Amerika Serikat.
Jelas, saya merasa ciut karena ada yang pernah mengatakan
kepada saya bahwa ada ribuan pelamar yang
mendaftar
beasiswa ini dari seluruh Indonesia, namun hanya
sedikit
yang dinyatakan lolos seleksi dan akhirnya diberangkatkan
ke Amerika Serikat. Beliau kemudian meminta saya
untuk mengunduh formulir aplikasi di alamat
website
dan memulai mempersiapkan sejak dini[3]
semua
persyaratan yang diminta oleh pihak panitia,
dimana publikasi ilmiah menjadi salah satu poin
penting
di dalam lembaran aplikasi beasiswa ini.
Tepat pada bulan Februari 2017,
saya mengirimkan dokumen aplikasi saya
ke kantor AMINEF[4]
di Jakarta.
Lessons learned:
[1] Dekati orang-orang supportive di sekitarmu;
[2] Tingkatkan kuantitas publikasimu [tanpa
menyampingkan kualitas tentunya];
[3] Download,
pelajari, dan persiapkan dokumen aplikasimu sedini mungkin;
[4] Persiapkan dirimu dari sekarang!
Disclaimer: This blog is not
an official blog of the U.S. Department of State blog or any other institutions
mentioned here. All views, comments, and information described here are merely
author’s own and are solely used to share his experiences pursuing the chance
to study abroad through Fulbright Scholarship. Thus, they do not represent the
official information of the scholarship. For inquiries related to the official
information can be found on the official website of the scholarship.
[1]
Saat seleksi wawancara berlangsung, seorang
pewawancara memuji kuantitas publikasi yang saya miliki.
[2] Publikasi menjadi poin penting dalam keberhasilan saya
memperoleh beasiswa Fulbright 2017-2018.
[3]
Saya menghabiskan waktu
kurang lebih 10 bulan untuk mempersiapkannya.
[4]
American Indonesian
Exchange Foundation
No comments:
Post a Comment